blog yang telah lama tak terurus ini nampaknya harus segera dikenakan perubahan. Namun, sepertinya sudah tak sanggup lagi. hehehe. jadinya, pindah aja ah...
Ingin keep on contact? klik disini aja.
Sabtu, 11 Oktober 2008
Kamis, 28 Februari 2008
Wis, uda!
Dalam satu perjalanan, alhamdulillah saya mendapatkan satu pertanyaan yang cukup membuat saya berpikir sampai sekarang.
Hari itu, dalam sebuah perjalanan, alhamdulillah saya ditakdirkan bertemu dengan seorang ibu bijak. Pertama-tama, ibu bijak ini bertanya jurusan tempat saya kuliah. Kemudian beliau bertanya angkatan masuk saya. Saya pun menjawab satu per satu. Setelah saya menjawab, beliau berkomentar "Wah, sebentar lagi wisuda". Saya menjawab "insyaALLAH maret ini, Bu".
Beliau berkata "Sudah siap belum? Sebentar lagi, beda lo, statusnya. Kemarin kan mahasiswa, sekarang sudah bagian dari masyarakat(society). Tanggung jawab nya pun beda. Sekarang harus memikirkan bagaimana keadaan masyarakat sekitar, kemudian bagaimana menjadi bagian dari masyarakat, bagaimana berkontribusi pada masyarakat, dan kewajiban sebagai bagian dari masyarakat. Atau sekarang masih merasa mahasiswa? Atau ya.. wis, uda!"
Pernyataan itu membuat saya terhenyak. Dengan tertawa malu, saya menjawab bahwa saya masih merasa sebagai mahasiswa. Kemudian beliau menceritakan budaya anak muda jepang yang menjadi bagian dari masyarakat. Saya pun mendengarkan. Sambil mendengarkan saya terus terpikir bahwa status saya sekarang telah berubah dan apa yang harus saya lakukan.
Sampai saat ini, pertanyaan ibu bijak tersebut masih terngiang-ngiang di telinga. Dan saya jadikan sebagai motivasi untuk berubah, bahwa saya sudah menjadi bagian dari masyarakat.
Hari itu, dalam sebuah perjalanan, alhamdulillah saya ditakdirkan bertemu dengan seorang ibu bijak. Pertama-tama, ibu bijak ini bertanya jurusan tempat saya kuliah. Kemudian beliau bertanya angkatan masuk saya. Saya pun menjawab satu per satu. Setelah saya menjawab, beliau berkomentar "Wah, sebentar lagi wisuda". Saya menjawab "insyaALLAH maret ini, Bu".
Beliau berkata "Sudah siap belum? Sebentar lagi, beda lo, statusnya. Kemarin kan mahasiswa, sekarang sudah bagian dari masyarakat(society). Tanggung jawab nya pun beda. Sekarang harus memikirkan bagaimana keadaan masyarakat sekitar, kemudian bagaimana menjadi bagian dari masyarakat, bagaimana berkontribusi pada masyarakat, dan kewajiban sebagai bagian dari masyarakat. Atau sekarang masih merasa mahasiswa? Atau ya.. wis, uda!"
Pernyataan itu membuat saya terhenyak. Dengan tertawa malu, saya menjawab bahwa saya masih merasa sebagai mahasiswa. Kemudian beliau menceritakan budaya anak muda jepang yang menjadi bagian dari masyarakat. Saya pun mendengarkan. Sambil mendengarkan saya terus terpikir bahwa status saya sekarang telah berubah dan apa yang harus saya lakukan.
Sampai saat ini, pertanyaan ibu bijak tersebut masih terngiang-ngiang di telinga. Dan saya jadikan sebagai motivasi untuk berubah, bahwa saya sudah menjadi bagian dari masyarakat.
Jumat, 01 Februari 2008
19 gulden
"Cep, naha nembe mulih?". Perkataan tersebut keluar dari seorang bapak pengendara ojek yang sangat ramah. Kemudian beliau melanjutkan,"nuju sibuk naon cep?". Saya pun menjawab, "Nuju nyiapkeun kanggo seminar tugas akhir pa. ".
Kemudian, sambil melanjutkan perjalanan, kami pun mengobrol, dan beliau memberikan sedikit saran .
Pa ojeg: "Cep, rerencangan bapa mah, kapungkur, upami seminar teh ngobrol heula pas seminar teh, tong langsung kana masalah".
saya: "ngobrol kumaha kitu pa?"(heran)
Pa ojeg: "Kawitna, masihan heula kisah" heula, teras tos seuseurian, nembe ka na masalahna". saya: "Kisah naon kitu pa?"
Pa ojeg: "kantos ngadangu kisah hakim warisan 19 gulden?"
saya: "teu acan Pa."
Pa ojeg: "Kieu cep, kapungkur aya tilu murangkalih nu di kantun ku bapana (maksudnya , bapanya meniggal). Bapa na teh ngawiatkeun warisan 19 gulden, pembagianana, putra nu kahiji satengah na, nu kadua saparapatna, teras nu katilu saperlima na. Tapi kenging di recehkeun. Murangkalihna teh baringung, kumaha carana ngabagikeun warisanana. Teras we sumping ka pengadilan. Saur acep, kumaha cing hakimna mutuskeun warisan eta?"
saya: "waduh, teu terang Pa" (sambil malu)
Kami sudah sampai di depan rumah, tapi karena cerita belum beres, kami meneruskan obrolan.
Pa ojeg: "Kieu cep, ku hakimna ditambihan 1 gulden. Janten 20 gulden kan? Nah, teras dibagikeun. Putra nu kahiji dipasihan 10 gulden, nu kadua dipasihan 5 gulden, nu katilu 4 gulden. Tos kitu, murangkalihna naroskeun, eta nu 1 gulden deui kumaha? Saur hakim teh, da ieu mah nu abdi. Hehe"(tertawa dengan tulus)
saya: "Aya-aya wae. Nuhun pisan, Pa"(sambil ikut tertawa)
Pa ojeg: "Sawangsulna cep, mugi-mugi lancar seminar na"
Kami pun berpisah
Kemudian, sambil melanjutkan perjalanan, kami pun mengobrol, dan beliau memberikan sedikit saran .
Pa ojeg: "Cep, rerencangan bapa mah, kapungkur, upami seminar teh ngobrol heula pas seminar teh, tong langsung kana masalah".
saya: "ngobrol kumaha kitu pa?"(heran)
Pa ojeg: "Kawitna, masihan heula kisah" heula, teras tos seuseurian, nembe ka na masalahna". saya: "Kisah naon kitu pa?"
Pa ojeg: "kantos ngadangu kisah hakim warisan 19 gulden?"
saya: "teu acan Pa."
Pa ojeg: "Kieu cep, kapungkur aya tilu murangkalih nu di kantun ku bapana (maksudnya , bapanya meniggal). Bapa na teh ngawiatkeun warisan 19 gulden, pembagianana, putra nu kahiji satengah na, nu kadua saparapatna, teras nu katilu saperlima na. Tapi kenging di recehkeun. Murangkalihna teh baringung, kumaha carana ngabagikeun warisanana. Teras we sumping ka pengadilan. Saur acep, kumaha cing hakimna mutuskeun warisan eta?"
saya: "waduh, teu terang Pa" (sambil malu)
Kami sudah sampai di depan rumah, tapi karena cerita belum beres, kami meneruskan obrolan.
Pa ojeg: "Kieu cep, ku hakimna ditambihan 1 gulden. Janten 20 gulden kan? Nah, teras dibagikeun. Putra nu kahiji dipasihan 10 gulden, nu kadua dipasihan 5 gulden, nu katilu 4 gulden. Tos kitu, murangkalihna naroskeun, eta nu 1 gulden deui kumaha? Saur hakim teh, da ieu mah nu abdi. Hehe"(tertawa dengan tulus)
saya: "Aya-aya wae. Nuhun pisan, Pa"(sambil ikut tertawa)
Pa ojeg: "Sawangsulna cep, mugi-mugi lancar seminar na"
Kami pun berpisah
Jumat, 11 Januari 2008
Makanan Terbaik
Pada salah satu pertemuan mentoring, saya diminta untuk diminta untuk membawa makanan terbaik yang bisa saya bawa. Awalnya, saya berpikir untuk membawa makanan hasil masakan. Tetapi, karena tidak sempat, pada saat itu saya hanya membawa sebungkus makanan ringan yang saya ambil dari lemari.
Tiba saat mentoring, mentor pun menyuruh saya untuk mengeluarkan makanan terbaik yang saya bawa.Saya pun mengeluarkan makanan ringan yang saya bawa. Kemudian, mentor yang membawa beberapa bungkus makanan dan sebungkus buah jeruk “mini”, berkata bahwa dia sudah gagal dalam janjinya untuk membawa makanan terbaik. “Ko, bisa?Padahal cukup untuk sarapan pagi” pertanyaan itu terlontar dalam hati saya. Mentor pun menjelaskan bahwa bisa saja dia membawa sekotak brownies, tetapi, beliau menambahkan bahwa banyak alasan-alasan yang tiba-tiba muncul. Dan akhirnya hanya membawa makanan itu saja. Saya pun terdiam, malu tentunya, karena tanpa usaha, hanya membawa sebungkus makanan ringan dari lemari, walaupun kalau dihitung, isinya cukup banyak (namanya juga makanan ringan ;p).
Mentor pun mengingatkan kembali tentang kisah kedua anak Nabi Adam As dalam memberikan persembahan mereka. Kemudian mentor melanjutkan makanan terbaik itu dianalogikan dengan bagaimana penyikapan kita terhadap kehidupan. Apakah dalam solat kita memberikan yang terbaik? Atau dalam setiap ujian kita memberikan yang terbaik? Atau justru yang kita hanya menyikapinya dengan seadanya, atau seperti contoh kasus saya hanya mengambil yang ada di lemari. Beliau menambahkan, kebanyakan manusia belum mengerahkan kemampuan yang telah diamanatkan secara maksimal.
Saya teringat kata-kata “.... push your boundaries....” yang dikemukakan oleh seorang juara freestyle football dalam sebuah iklan. Saya mengambil kesimpulan bahwa banyak batas-batas yang kita hadapi dalam mengerahkan kemampuan kita, salah satunya malas. Tetapi kebanyakan, tidak menyadari batas-batas yang menghalangi dan nyaman dengan batas itu. Dan saya yakin, saya bisa melewati batas itu. Oleh karena itu, know and push your boundaries!
Tiba saat mentoring, mentor pun menyuruh saya untuk mengeluarkan makanan terbaik yang saya bawa.Saya pun mengeluarkan makanan ringan yang saya bawa. Kemudian, mentor yang membawa beberapa bungkus makanan dan sebungkus buah jeruk “mini”, berkata bahwa dia sudah gagal dalam janjinya untuk membawa makanan terbaik. “Ko, bisa?Padahal cukup untuk sarapan pagi” pertanyaan itu terlontar dalam hati saya. Mentor pun menjelaskan bahwa bisa saja dia membawa sekotak brownies, tetapi, beliau menambahkan bahwa banyak alasan-alasan yang tiba-tiba muncul. Dan akhirnya hanya membawa makanan itu saja. Saya pun terdiam, malu tentunya, karena tanpa usaha, hanya membawa sebungkus makanan ringan dari lemari, walaupun kalau dihitung, isinya cukup banyak (namanya juga makanan ringan ;p).
Mentor pun mengingatkan kembali tentang kisah kedua anak Nabi Adam As dalam memberikan persembahan mereka. Kemudian mentor melanjutkan makanan terbaik itu dianalogikan dengan bagaimana penyikapan kita terhadap kehidupan. Apakah dalam solat kita memberikan yang terbaik? Atau dalam setiap ujian kita memberikan yang terbaik? Atau justru yang kita hanya menyikapinya dengan seadanya, atau seperti contoh kasus saya hanya mengambil yang ada di lemari. Beliau menambahkan, kebanyakan manusia belum mengerahkan kemampuan yang telah diamanatkan secara maksimal.
Saya teringat kata-kata “.... push your boundaries....” yang dikemukakan oleh seorang juara freestyle football dalam sebuah iklan. Saya mengambil kesimpulan bahwa banyak batas-batas yang kita hadapi dalam mengerahkan kemampuan kita, salah satunya malas. Tetapi kebanyakan, tidak menyadari batas-batas yang menghalangi dan nyaman dengan batas itu. Dan saya yakin, saya bisa melewati batas itu. Oleh karena itu, know and push your boundaries!
Senin, 31 Desember 2007
Customer satisfaction and delight
Jika kita ingin membuat pelanggan loyal terhadap produk kita, ada dua hal yang harus diperhatikan, yaitu customer satisfaction (kepuasan pelanggan) dan customer delight. (james gwee)
Kata-kata di atas ter- ngiang-ngiang di dalam kepala saya ketika saya membeli produk di salah satu perusahaan di Jakarta. Di tempat tersebut, saya tidak mendapatkan, baik customer satisfaction ataupun customer delight. Dan sekarang, mungkin saya tidak akan pernah lagi kembali membeli ke perusahaan tersebut, walaupun perusahaan tersebut merupakan penjual produk terbesar di Indonesia.
Ceritanya, beberapa hari lalu (Selasa) saya bersama teman pergi ke Jakarta dalam rangka menunaikan tugas di salah satu instansi. Kami berencana untuk membeli beberapa buah produk dalam nominal yang cukup besar (menurut saya besar, karena sampai saat ini, transaksi tersebut adalah transaksi terbesar saya dalam sejarah) di salah satu perusahaan penjual ritel terbesar di Indonesia, saya sebut perusahaan X. Pembayaran sudah kami lakukan di Bandung melalui transfer dan langsung kami lunasi, dengan harapan kami tidak perlu lagi mengurus apa-apa di Jakarta.
Perjalanan ke Jakarta cukup melelahkan kami karena jauhnya jarak yang ditempuh ditambah dengan macetnya Jakarta. Kami sampai di perusahaan X sekitar pukul 2 siang, telat dua jam, dari yang kami janjikan kepada orang di bagian marketing yang bertugas untuk melayani kami, saya sebut si Y. Pada awalnya, kami janji skitar jam 12 sudah sampai di Jakarta. Karena telat, kami memberikan informasi terlebih dahulu kepada orang tersebut.
Karena kami telat, kami berpikiran bahwa sesampainya kami disana, produk sudah ada dan siap untuk diperiksa kemudian dibawa ke Bandung. Tetapi, ternyata produknya masih belum ada di perusahaan X. Kami kemudian diminta untuk menunggu di ruang tunggu selama satu jam sampai produk yang kami pesan sampai. Kami menunggu dan ditawari minum.
Selama kami menunggu, tidak ada satu pun karyawan di perusahaan X tersebut melayani atau bahkan menemani kami menunggu, bahkan si Y, pun pergi tanpa menghiraukan kami menunggu. Setelah 15 menit, kami memutuskan untuk pergi keluar untuk mencari makan. Dengan harapan setelah kami makan, produk sudah sampai. Tapi, yang terjadi adalah, pada perjalanan kami kembali ke perusahaan X setelah makan dan tinggal beberapa ratus meter sampai ke perusahaan X, si Y menelpon, pada awalnya teman saya meminta maaf karena tanpa izin keluar untuk makan. Kemudian si Y bilang bahwa dia sedang dalam perjalanan mengambil produk. Kontan, teman saya marah. Teman saya bilang tunggu, karena sebentar lagi sampai, dan ingin berbicara apa yang terjadi, tetapi si Y bilang dia sudah dalam perjalanan. Teman saya berprasangka seperti ada yang disembunyikan.
Alhasil, kami menunggu kembali di perusahaan X. Kali ini, kami benar-benar tidak mendapatkan pelayanan dari perusahaan X.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima dan si Y masih belum datang. Teman saya menelpon si Y dan dengan nada tinggi berkata bahwa, dia ke Jakarta bukan untuk main-main, transaksi yang kami lakukan kemungkinan transaksi terbesar hari itu dan pembayaran sudah beres kami lakukan. Tapi, kami diminta menunggu dan tidak dilayani.
Untungnya saya tidak terbawa marah. Saya menikmati waktu menunggu dengan melihat-lihat perusahaan dan membaca beberapa paper.
Adzan magrib datang untuk mengajak solat. Saya pun solat di mesjid di sekitar perusahaan tersebut. Ketika saya sampai, produk sudah disimpan di mobil. Dan saya tidak tahu apa yang terjadi pada saat si Y datang. Setelah proses pembelian beres,kami pun langsung pulang (skitar pukul 7). Tidak banyak yang saya dan teman saya bicarakan tentang perusahaan X, dalam perjalan ,hanya beberapa kata yang diucapkan teman saya, yaitu bahwa dia tidak akan pernah berhubungan lagi dengan perusahaan X.
Perusahaan X sudah kehilangan satu pelanggan (teman saya) plus saya dan instansi yang menugaskan saya. Karena teman saya bilang ke beberapa orang di instasi untuk tidak usah beli ke perusahaan X. Mungkin nanti akan tersebar dan tidak tahu berapa banyak lagi konsumen yang hilang dari perusahaan X, hanya karena kurang baiknya pelayanan. Hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor runtuhnya perusahaan. Perusahaan X tidak memerhatikan kepuasan pelanggan apalagi customer delight. Padahal, harga yang dibayar agar pelanggan puas dan senang tidak akan besar, bahkan sangat kecil (dalam cerita di atas, tidak akan sampai 0,2% dari transaksi). Hanya dengan menemani pelanggan, atau paling berat menyediakan makanan (apalagi klo makannya brutal.hehe). Tetapi yang terpenting adalah menjaga kepercayaan dari pelanggan. Dan salah satu cara untuk menjaga kepercayaan adalah dengan memberikan satisfaction kepada pelanggan dan membuat pelanggan senang.
Kata-kata di atas ter- ngiang-ngiang di dalam kepala saya ketika saya membeli produk di salah satu perusahaan di Jakarta. Di tempat tersebut, saya tidak mendapatkan, baik customer satisfaction ataupun customer delight. Dan sekarang, mungkin saya tidak akan pernah lagi kembali membeli ke perusahaan tersebut, walaupun perusahaan tersebut merupakan penjual produk terbesar di Indonesia.
Ceritanya, beberapa hari lalu (Selasa) saya bersama teman pergi ke Jakarta dalam rangka menunaikan tugas di salah satu instansi. Kami berencana untuk membeli beberapa buah produk dalam nominal yang cukup besar (menurut saya besar, karena sampai saat ini, transaksi tersebut adalah transaksi terbesar saya dalam sejarah) di salah satu perusahaan penjual ritel terbesar di Indonesia, saya sebut perusahaan X. Pembayaran sudah kami lakukan di Bandung melalui transfer dan langsung kami lunasi, dengan harapan kami tidak perlu lagi mengurus apa-apa di Jakarta.
Perjalanan ke Jakarta cukup melelahkan kami karena jauhnya jarak yang ditempuh ditambah dengan macetnya Jakarta. Kami sampai di perusahaan X sekitar pukul 2 siang, telat dua jam, dari yang kami janjikan kepada orang di bagian marketing yang bertugas untuk melayani kami, saya sebut si Y. Pada awalnya, kami janji skitar jam 12 sudah sampai di Jakarta. Karena telat, kami memberikan informasi terlebih dahulu kepada orang tersebut.
Karena kami telat, kami berpikiran bahwa sesampainya kami disana, produk sudah ada dan siap untuk diperiksa kemudian dibawa ke Bandung. Tetapi, ternyata produknya masih belum ada di perusahaan X. Kami kemudian diminta untuk menunggu di ruang tunggu selama satu jam sampai produk yang kami pesan sampai. Kami menunggu dan ditawari minum.
Selama kami menunggu, tidak ada satu pun karyawan di perusahaan X tersebut melayani atau bahkan menemani kami menunggu, bahkan si Y, pun pergi tanpa menghiraukan kami menunggu. Setelah 15 menit, kami memutuskan untuk pergi keluar untuk mencari makan. Dengan harapan setelah kami makan, produk sudah sampai. Tapi, yang terjadi adalah, pada perjalanan kami kembali ke perusahaan X setelah makan dan tinggal beberapa ratus meter sampai ke perusahaan X, si Y menelpon, pada awalnya teman saya meminta maaf karena tanpa izin keluar untuk makan. Kemudian si Y bilang bahwa dia sedang dalam perjalanan mengambil produk. Kontan, teman saya marah. Teman saya bilang tunggu, karena sebentar lagi sampai, dan ingin berbicara apa yang terjadi, tetapi si Y bilang dia sudah dalam perjalanan. Teman saya berprasangka seperti ada yang disembunyikan.
Alhasil, kami menunggu kembali di perusahaan X. Kali ini, kami benar-benar tidak mendapatkan pelayanan dari perusahaan X.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah lima dan si Y masih belum datang. Teman saya menelpon si Y dan dengan nada tinggi berkata bahwa, dia ke Jakarta bukan untuk main-main, transaksi yang kami lakukan kemungkinan transaksi terbesar hari itu dan pembayaran sudah beres kami lakukan. Tapi, kami diminta menunggu dan tidak dilayani.
Untungnya saya tidak terbawa marah. Saya menikmati waktu menunggu dengan melihat-lihat perusahaan dan membaca beberapa paper.
Adzan magrib datang untuk mengajak solat. Saya pun solat di mesjid di sekitar perusahaan tersebut. Ketika saya sampai, produk sudah disimpan di mobil. Dan saya tidak tahu apa yang terjadi pada saat si Y datang. Setelah proses pembelian beres,kami pun langsung pulang (skitar pukul 7). Tidak banyak yang saya dan teman saya bicarakan tentang perusahaan X, dalam perjalan ,hanya beberapa kata yang diucapkan teman saya, yaitu bahwa dia tidak akan pernah berhubungan lagi dengan perusahaan X.
Perusahaan X sudah kehilangan satu pelanggan (teman saya) plus saya dan instansi yang menugaskan saya. Karena teman saya bilang ke beberapa orang di instasi untuk tidak usah beli ke perusahaan X. Mungkin nanti akan tersebar dan tidak tahu berapa banyak lagi konsumen yang hilang dari perusahaan X, hanya karena kurang baiknya pelayanan. Hal tersebut bisa menjadi salah satu faktor runtuhnya perusahaan. Perusahaan X tidak memerhatikan kepuasan pelanggan apalagi customer delight. Padahal, harga yang dibayar agar pelanggan puas dan senang tidak akan besar, bahkan sangat kecil (dalam cerita di atas, tidak akan sampai 0,2% dari transaksi). Hanya dengan menemani pelanggan, atau paling berat menyediakan makanan (apalagi klo makannya brutal.hehe). Tetapi yang terpenting adalah menjaga kepercayaan dari pelanggan. Dan salah satu cara untuk menjaga kepercayaan adalah dengan memberikan satisfaction kepada pelanggan dan membuat pelanggan senang.
Langganan:
Postingan (Atom)